Kedua, akibat pembelanjaan besar-besaran Cina, cadangan stok kedelai di banyak negara turun drastis. Ini menandakan kenaikan kedelai masih akan terjadi dalam tiga hingga enam bulan ke depan.
"Minimnya stok kedelai pada akhirnya akan membuat harga kedelai naik ke depan, ”jelasnya.
Baca Juga: Minyak Argan, Emas Cair dari Maroko yang Berkhasiat untuk Kecantikan
Lezat dan Sehat, Ini 5 Makanan Olahan dari Pisang yang Wajib Kamu Coba
Selain itu, menurut Dr Bayu, dengan total produksi kedelai dunia sebesar 362 juta ton, impor Indonesia yang berkisar 1,7 hingga dua juta ton, tergolong kecil dibandingkan total perdagangan dunia yang mencapai hampir 130 juta ton. Implikasinya, kebutuhan Indonesia tidak menjadi prioritas.
"Tidak hanya pada produknya, tapi juga pada aspek alat angkutnya. Kalau Cina membeli dalam skala besar, perusahaan pelayaran justru akan melayani mereka. Sedangkan kita dan lainnya negara-negara yang melakukan impor dalam jumlah kecil, tentunya mengalami kesulitan untuk mendapatkan peti kemas atau kapal pengangkut. Ketiga situasi tersebut yang menyebabkan harga kedelai dunia naik,” jelas Dr Bayu.
Dr Bayu pun mengkritik pernyataan Kementerian Perdagangan yang sebelumnya menjamin stok kedelai masih aman.
“Masalahnya, jika pedagang menjual dengan harga saat dia membelinya, maka itu pasti tidak akan cukup untuk pembelian di masa depan. Oleh karena itu yang menjadi prioritas utama adalah kedelai harus tersedia dengan harga yang disesuaikan, ”katanya.
Ke depan, untuk mencapai swasembada, Dr Bayu meminta pemerintah sebaiknya memprioritaskan dan berkonsentrasi pada jenis kedelai tertentu yang dapat tumbuh baik di Indonesia.
Setidaknya ada dua jenis kedelai yang banyak dikonsumsi masyarakat. Pertama, konsumsi kedelai utuh, seperti untuk pembuatan tempe. Kedua, kedelai tumbuk, seperti kecap, tahu dan oncom.