Kisah Perjuangan Petani Palestina di Balik Melimpahnya Panen Zaitun

Abbas Milhem, petani Zaitun. (Modernfarmer/Abbas Milhem)

Editor: Dera - Jumat, 17 September 2021 | 18:20 WIB

Sariagri - Bagi para petani di Palestina, bertani adalah perjuangan. Mereka seakan tak pernah menyerah meski pasokan air minim dan akses ke areal pertanian sulit akibat pos penjagaan militer Israel.

Bulan depan, Abbas Milhem bersama ribuan petani Palestina lain akan menjalani panen zaitun tahunan. Saat matahari terbenam di atas gurun Tepi Barat, para petani dan keluarga mereka akan menghabiskan waktu berjam-jam untuk meraih cabang-cabang pohon zaitun, memetik buah-buah zaitun.

Ini adalah ritual yang telah diikuti Milhem sejak dia masih kecil, ketika ayahnya bertani di tanah yang sama di dekat kota Jenin, di bagian utara Tepi Barat. Dulu, ia masih ingat saat pohon persik dan aprikot berbaris di kebunnya, sementara almond dan kacang lainnya jatuh dari pohon saat matang.

Sekarang, kebunnya hampir semuanya pohon zaitun, satu-satunya produk yang dapat diandalkannya bahkan di saat kekeringan, baik dari musim kemarau atau kekurangan air yang dikendalikan oleh pengawas Israel.

Hampir setengah dari lahan pertanian yang ada di Tepi Barat ditanami pohon zaitun. Zaitun dan minyak zaitun mewakili seperempat dari pendapatan pertanian daerah itu. Dulu ada lebih banyak pohon, tetapi mereka menjadi sasaran empuk bagi pemukim Israel yang telah mencabutnya atau membakar batangnya.

Serangan terhadap pohon zaitun telah berlangsung selama bertahun-tahun, bahkan puluhan tahun, meskipun menjadi lebih buruk setelah pemberontakan Palestina yang dikenal sebagai Intifada kedua, pada tahun 2000.

Setelah kekerasan mereda, tentara Israel mulai bekerja mencabut pohon atau meruntuhkannya. Petani sering diberitahu bahwa tentara membutuhkan ruang untuk operasi militer atau untuk membersihkan jalur antar desa. Tetapi beberapa orang menduga alasan sebenarnya adalah untuk mempersulit petani Palestina mencari nafkah.

Rami Barhoush, wakil presiden Kelompok Arab untuk Perlindungan Alam (AP Nature) mengaku, di Palestina banyak pohon-pohon telah menghilang secara sistematis. Pada tahun 2001, AP Nature memulai kampanye untuk menanam kembali satu juta pohon zaitun dan buah-buahan di sepanjang tanah Palestina yang berbatu. Hingga saat ini, mereka telah menanam lebih dari 2,5 juta pohon di tanah.

Penanaman kembali pohon tentu membantu para petani Palestina yang berjuang mencari nafkah. Tetapi masalah sebenarnya adalah kurangnya air dan kurangnya akses ke areal pertanian.

“Kami tidak diperbolehkan menggali dan mencari air di kota kami, karena air di Palestina adalah salah satu sumber daya alam yang hidup di bawah kendali pendudukan Israel.Di kota saya, tidak ada air," ujar Milhem kepada Modern Farmer, melalui telepon. 

Di Palestina, melalui Tepi Barat dan Jalur Gaza, penggunaan air berada di bawah kendali pemerintah Israel. Perintah militer dari tahun 1967 melarang warga Palestina menggali sumur, membuat terowongan untuk irigasi atau membangun instalasi air baru tanpa izin tertulis.

Kesenjangan yang dihasilkan membuat ratusan komunitas Palestina tidak memiliki akses ke air, artinya mereka harus membeli air, tentu saja, dari Israel.

“Itu tidak berarti bahwa kita mengalami kelangkaan air di Palestina. Kami memiliki sumber daya air yang cukup, tetapi kami dibatasi dan ditolak aksesnya," ujarnya.

Dengan sedikit air yang tersedia untuk tanaman, warga Palestina telah beralih ke buah-buahan dan sayuran asli yang akan tumbuh di iklim gurun yang keras.

Meskipun roti merupakan makanan keseharian warga, sulit menemukan ladang gandum atau tanaman komersial lainnya di lereng bukit Palestina. Sebaliknya, zaitun merupakan bagian terbesar dari produk mereka dan sisanya adalah buah-buahan seperti apel, kurma, buah ara dan kacang-kacangan.

Pada tahun 2002, Israel membangun tembok di sekitar wilayah Palestina di Tepi Barat, seringkali melewati tanah milik Palestina dalam prosesnya.

“Ini adalah tembok beton tinggi yang sangat menakutkan dengan pos pemeriksaan dan gerbang setiap beberapa kilometer,” kata Barhoush.

Petani harus melewati blokade ini untuk mengakses tanah mereka. Mereka harus mendapatkan izin militer untuk melewati pos pemeriksaan, tetapi bahkan ketika mereka melakukannya, mereka sering ditolak aksesnya.

Ketika petani bisa melewatinya, terkadang militer hanya mengizinkan anggota keluarga dekat bergabung dengan mereka. Kadang-kadang, mereka harus pergi sendiri, memanen apa yang mereka bisa sementara penjaga bersenjata mengawasi.

Sekarang, Milhem bekerja sebagai direktur eksekutif Serikat Petani Palestina dan dia mencoba membantu para petani di seluruh wilayah memiliki akses yang aman ke tanah mereka.

Meskipun masih menghadapi perjuangan, dia mengatakan ada alasan untuk harapan dan optimisme baru-baru ini, ketika protes di seluruh dunia bermunculan musim semi ini sebagai tanggapan atas penggusuran dengan kekerasan di Yerusalem Timur.

Baca Juga: Kisah Perjuangan Petani Palestina di Balik Melimpahnya Panen Zaitun
Laporan PBB Serukan Perubahan Skema Bantuan Sektor Pertanian, Insentif Harga Perlu Dihapus

“Saya tidak melebih-lebihkan dengan mengatakan itu luar biasa. Bagi mereka yang hidup di bawah kekerasan yang sedang berlangsung (ada baiknya mengetahui) bahwa orang-orang di dunia ini peduli dengan penderitaan mereka,"  kata Milhem.

Di Palestina, pohon zaitun lebih dari sekadar tanaman yang dapat diandalkan, tapi juga sebuah simbolisme. “Orang-orang Palestina melihat diri mereka (seperti zaitun). Lembut dan rendah hati di luar, tetapi sangat sulit untuk dihancurkan di dalam." kata Barhoush.